http://kucinx-got.co.ccNews -Pemilu Parlemen Jepang 30 Agustus 2009 akhirnya menjadi tonggak pergantian rezim di negara itu. Partai Demokratik Liberal (LDP) yang telah berkuasa selama lebih dari setengah abad takluk pada kekuatan Partai Demokrat Jepang (DPJ). Pemimpin DPJ, Yukio Hatoyama, sudah pasti menjadi perdana menteri Jepang.
Hatoyama bukan sosok baru dalam politik Jepang. Politisi kelahiran Tokyo, 11 Februari 1947, ini terpilih pertama kali sebagai anggota majelis rendah pada 1986. Sejak itu dia terus duduk sebagai anggota parlemen melalui enam kali pemilu berikutnya.
Dia juga berasal dari dinasti politik Jepang yang terus melanjutkan tradisi keluarga berkiprah di pemerintahan. Kakeknya, Ichiro Hatoyama, adalah PM Jepang periode 1954-1956. Ayahnya, I’ichiro Hatoyama, adalah mantan Menteri Luar Negeri Jepang (1976-1977).
Dia dan saudara laki-lakinya, Kunio Hatoyama, terbilang politisi generasi keempat dari keluarga besar Hatoyama.
Yukio Hatoyama lulus sebagai sarjana teknik dari Universitas Tokyo pada 1969. Gelar doktor di bidang perekayasaan dia raih dari Stanford University, Amerika Serikat, pada 1976. Kariernya diawali sebagai asisten peneliti di Universitas Tokyo, kemudian pindah ke Universitas Senshu hingga diangkat sebagai asisten profesor.
Karier politiknya dimulai dari LDP, dengan menggantikan kursi ayahnya di parlemen dari wilayah Hokkaido. Akan tetapi, suami dari Miyuki ini akhirnya keluar dari LDP pada 1993. Bersama-sama Naoto Kan, Masayoshi Takemura, Shuhei Tanaka, serta para politisi muda Jepang lainnya, dia membentuk partai baru, Sakigake. Bersama Naoto Kan kemudian ia bergabung ke DPJ yang juga baru dibentuk pada 1996.
”Harinya telah datang untuk mengubah sejarah Jepang. Saya perlu kekuasaan Anda untuk membuat Jepang menjadi satu, di mana Anda akan menjadi pemeran utama. Mari berjalan menuju sebuah era baru dengan keberanian.” Itulah cuplikan pidato kampanye Hatoyama yang mengajak rakyat untuk melakukan perubahan. Dia memosisikan diri seperti Barack Obama saat Pemilu Presiden AS tahun 2008.
”Kennedy Jepang”
Media-media Jepang menggambar keluarga Hatoyama sebagai dinasti Kennedy ala Jepang. Julukan ini bukan hanya dari segi kiprah politik keluarga ini, tetapi juga dari akumulasi kekayaan yang dikumpulkan selama lebih dari satu abad.
Pada debat terbuka dengan pesaing utamanya, PM Taro Aso, terlihat perbedaan nyata antara pemimpin oposisi ini dan Aso. Debat dengan aksi saling kritik itu menunjukkan kualitas Yukio Hatoyama soal pemahaman permasalahan di Jepang.
Dia menegaskan, pemerintahan di bawah LDP didominasi para birokrat dan tidak bisa mencegah pemborosan uang dari para pembayar pajak. Sebab, kata Hatoyama, pergantian kekuasaan diperlukan.
Hatoyama berjanji, pemborosan uang negara dihindarkan dan pajak dari rakyat akan dikembalikan kepada rakyat. Salah satu program yang akan didorong Hatoyama adalah pemberian tunjangan untuk anak- anak. Tujuannya, Jepang bisa segera mengubah ketidakseimbangan demografis.
Warga Jepang semakin didominasi penduduk berusia lanjut. ”Jepang tidak akan bisa mencegah penurunan angka kelahiran jika tidak ada kebijakan nyata dan jelas untuk mendukung hal itu,” kata Hatoyama, seperti dilaporkan surat kabar Mainichi.
Penduduk yang menua merupakan salah satu penyebab kelesuan perekonomian Jepang. Hatoyama menikahi mantan aktris musik dan memiliki seorang putra. Dia paham benar mengapa banyak warga Jepang ”tidak sanggup” memiliki anak banyak.
Beban hidup terlalu besar untuk ditanggung sebuah keluarga. Hal ini bahkan membuat banyak warga muda Jepang enggan untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Kondisi itulah yang harus segera dirombak total, dengan menyiapkan anggaran tidak kecil untuk membantu keluarga- keluarga Jepang.
Hatoyama juga memahami perasaan sejumlah negara bekas jajahan Jepang terkait dengan Kuil Yasukuni, yang kerap kali menimbulkan ketegangan diplomatik dengan beberapa negara bekas jajahan Jepang.
Oleh karena itu, Hatoyama berencana membangun sebuah tempat peringatan perang baru yang tidak terkait dengan agama untuk menggantikan Yasukuni. ”Kaisar pun tidak bisa mengunjungi Yasukuni. Kami akan membangun sebuah fasilitas di mana Kaisar bisa memberi penghormatan secara damai kepada para pejuang Jepang yang telah menjadi korban perang,” ungkapnya.
Kemandirian Jepang juga menjadi isu yang dia tawarkan kepada warga. ”Keamanan nasional yang membuat Jepang menjadi ’bawahan’ AS tidak diinginkan. Kita perlu membangun sebuah sistem di mana Jepang bisa membela diri sendiri dengan cara yang lebih independen,” kata Hatoyama pada sebuah jumpa pers, Februari lalu.
Hal ini menunjukkan adanya pertanda sebuah arah baru politik luar negeri Jepang di bawah pemerintahannya.
Menghargai hak-hak asing
Itulah sebagian isu kampanye yang dia jagokan. Di dalam percaturan politik juga terjadi pertarungan dengan Taro Aso.
Persaingan Hatoyama versus Aso mengingatkan kembali pada pertarungan politik beberapa puluh tahun lalu. Ketika itu, kakek Aso, Shigeru Yoshida, yang juga mantan PM (1946-1947, 1948-1954), merupakan lawan politik Ichiro Hatoyama pada tahun 1950-an.
Mengikuti jejak kakeknya, Hatoyama punya perhatian pada masalah-masalah sosial, hak-hak perempuan, dan hak-hak warga negara asing. Pandangannya soal hal ini dianggap sangat liberal.
Hatoyama memilih kata ”yuai” sebagai pegangan. Ini adalah kata yang diterjemahkan sebagai persahabatan dan cinta. Hal ini dianggap akan mampu menggerakkan politik Jepang.
”Saya ingin politik yang menggembirakan orang, bukan sekadar membuat gedung-gedung,” katanya.
Karier politik Hatoyama pernah pula mendapat guncangan. Dia pernah mundur dari jabatan Ketua DPJ karena dianggap tak setia pada partai yang dipimpin Ichiro Ozawa. Namun, DPJ tetap memberinya kepercayaan dengan menempatkan dia kembali sebagai Sekretaris Jenderal DPJ ketika Ozawa menjadi pemimpin DPJ.
Mundurnya Ozawa pada 11 Mei 2009 akibat skandal dana kampanye membuka lebar-lebar pintu bagi Hatoyama untuk menjadi pemimpin DPJ lagi. Hatoyama mengalahkan rivalnya, Katsuya Okada.
Melalui ”Yuai”, Hatoyama ingin mengembalikan politik Jepang sebagai politik yang menaruh kepedulian besar kepada rakyat sekaligus mencintai rakyatnya. Hal itu sekaligus menjadi koreksi atas sistem politik elitisme LDP yang justru semakin menjauh dari aspirasi rakyatnya.
Alangkah beruntungnya jika kita di Indonesia pun bisa menikmati kebijakan yang sama, di mana pemerintah melakukan tindakan serius untuk meringankan beban keluarga-keluarga di negara kita.
sumber : kompas.com